Judul: Luka Dalam Bara Penulis: Bernard Batubara Ilustrasi sampul dan isi: @alvinxki Penyunting: Teguh Afandi Penyelaras aksara: Nunung Wiyati Foto penulis: Pundan Katresnan Penata letak: CDDC/NA Digitalisasi: Elliza Titin Penerbit: Penerbit Noura Tahun terbit: 2017 Aku mencintainya karena ia mencintai kata-kata. Aku mencintainya lebih lagi karena ia mencintai buku-buku. Aku mencintainya karena ia adalah buku bagi kata-kata yang tidak bisa aku tuliskan. Aku mencintainya karena ia menjadi rumah bagi setiap kecemasan yang tidak perlu aku tunjukkan. REVIEW Ini kali pertama saya membaca karya penulis. Jika melihat dari covernya, buku ini sepertinya menarik. Dengan komposisi judul yang menurut saya bisa memiliki pengertian ganda dan ilustrasinya yang keren. Menurut saya, judul 'Luka Dalam Bara' bisa diartikan luka yang seperti terbakar dalam bara api atau luka yang dimiliki Bara, sang penulis. Ternyata opsi kedua yang lebih cocok menggambarkan buku ini. Awalnya saya juga mengira buku ini merupakan Novel atau kumpulan cerita pendek. Namun saya salah, buku ini berisi fragmen yang ditulis penulis dalam rangka meluapkan apa yang ia rasakan. Fragmen-fragmen tersebut dibagi ke dalam 6 bagian, yaitu : 1. Memo-memo memori 2. Kronik sebuah perjalanan 3. Surat-surat untuk J 4. Dialog-dialog yang tidak pernah terjadi 5. Adegan-adegan yang tercipta di udara 6. Ingatan-ingatan yang hanya samar Bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini, cukup ringan. Permainan kata-kata yang sederhana namun terasa indah saat dibaca. Karena dari kata-kata yang sederhana itu tersimpan makna yang mendalam. "Kamu selalu mendadak merasa biru saat langit perlahan mendung dan hawa hujan mulai terasa. Aku harap kamu tidak sedang merasa biru, meski kita sama-sama tak bisa menahan rindu." (hlm.47-48) "Tertawa membuat kita tetap hidup. Aku percaya itu." (hlm.51) Semakin jauh saya membaca halaman dari buku ini, semakin dalam saya terjun ke dunia yang dibawakan penulis. Saya bisa ikut merasakan apa yang dirasakan penulis, saat ia bahagia, gelisah, khawatir, dan jatuh cinta. Kembali lagi ke judul, meski judulnya terdapat kata luka. Namun tak sepenuhnya luka dalam buku ini menyakitkan. Sepertinya penulis ingin menyampaikan, tak semua luka berakhir duka, tapi juga bisa berakhir dengan karya. Tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Saya juga suka cara penulis menempatkan kalimat pamungkas di setiap akhir kalimat fragmennya. Kalimat terakhir yang selalu ngena❣ "Kamu adalah kenyataanku, yang lebih indah dari mimpi-mimpiku." (hlm.9) "Bagaimana bisa kita terbebas dan terlepas dari ikatan, sementara kita sendiri tercipta dan terbentuk melalui ikatan-ikatan?" (hlm.81) Fragmen favorite saya adalah fragmen berjudul rumah yang mengawali bagian pertama buku ini. Karena saya sempat terdiam saat membaca fragmen ini, dan harus beberapa kali membacanya, sampai saya benar-benar mengerti apa yang ingin disampaikan penulis. Ada satu fragmen yang cukup unik, penulis menuangkan bagaimana ia mencintai sepatu merahnya. Saya jadi teringat sepatu merah saya yang dahulu terlalu sering saya pakai hingga ia rusak lebih cepat. Ternyata dari hal kecil seperti sepatu pun, juga bisa menghasilkan fragmen yang indah. "Bagiku, sepasang sepatu itu bukan benda. Dia adalah memori. Dia adalah emosi. Oleh sebab itu, dia tidak dapat tergantikan." (hlm.26) Di dalam buku ini juga terdapat ilustrasi yang mendukung isi fragmen, dan ilustrasi tersebut tak kalah keren dari ilustrasi yang ada di cover. Namun sayangnya, tidak semua judul fragmen didukung dengan ilustrasi. Hanya ada beberapa fragmen yang didukung ilustrasi, seperti : Rumah, Tidur tanpa bermimpi, dll. Padahal saya menginginkan ada lebih banyak ilustrasi, terutama untuk fragmen yang berjudul 'Surat untuk J'. 'Surat untuk J' adalah fragmen yang paling membuat saya berandai-andai jika surat itu ditulis untuk saya (duh!). Ah tidak, seandainya saja ada seseorang yang menulis surat sederhana namun penuh rasa itu untuk saya. (he..he..heeeh!) Dibalik kata-kata sederhana, saya menemukan kata yang baru bagi saya, yaitu: menyigi. Menurut KBBI, menyigi adalah : menyuluh dengan sigi (suluh atau obor); menerangi; menyelidiki dengan teliti. Selain menemukan kata baru, saya juga menemukan kalimat yang menurut saya janggal. Seperti kalimat: "Di meja di hadapanku sebuah novel." (hlm.82) . Jika boleh mengubahnya, saya ingin mengubahnya menjadi, "Di meja yang ada di hadapanku terdapat sebuah novel." Dan pada kalimat, "Beberapa kali memandang ke lain." (hlm.88) . Menurut saya lebih baik jika diganti menjadi, "Beberapa kali memandang ke arah lain." Pada akhirnya, buku ini bukan hanya menarik, namun juga membuat saya jatuh hati dengan tulisan sang penulis. Mungkin saya akan semakin jatuh hati jika membaca karyanya yang lain. Saya juga merekomendasikan buku ini untuk kalian yang menyukai bacaan ringan namun tetap penuh makna. Selamat dipermainkan kata-kata! (*>_<*)ノ "Kamu tahu, pada akhirnya aku merasa bukan hanya aku dan kamu yang mencintai kata-kata. Kata-kata pun, menyayangi kita." (hlm.21)
0 Comments
Leave a Reply. |
mimi Fachriyahone of introvert girls who love sleeping, listening, reading and changmin. Archives
July 2021
Categories
All
Mimi's bookshelf: read
by Tere Liye
review saya http://mimichinori.weebly.com/review/buku-dikatakan-atau-tidak-dikatakan-itu-tetap-cinta-kumpulan-sajak
|